Sesuai pasal 112 UU 35 Tahun 2009 (memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I secara melawan hukum) yang diancam dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, dan denda minimal Rp 800 juta, maksimal Rp 8 milyar. Pasal itulah yang membuat para korban pengguna narkoba bisa di penjara. Dalam konsep dekriminalisasi, hakim diberikan pilihan untuk menjatuhkan vonis rehabilitasi atau penjara terhadap pengguna narkoba.
Meski demikian, kita semua berkeyakinan bahwa rehabilitasi jauh lebih baik dari pada penjara. Jika pengguna direhabilitasi maka mereka akan pulih dari ketergantungannya dan enggan mengkonsumsi barang haram lagi. Pasalnya konstruksi hukum di negeri ini menganut double track system pemidanaan, yang pada intinya, pengguna narkoba bisa dipenjara atau direhabilitasi berdasarkan vonis hakim. Kita juga pantas was-was sebab kita tak tahu apakah di dalam sel penjara aman dari peredaran narkoba.
Kita menyambut baik program Badan Narkotika Nasional (BNN), 2014 sebagai tahun penyelamatan pengguna narkoba. Sehingga nantinya, para pengguna narkoba tidak lagi dipenjara melainkan akan direhabilitasi, dengan persyaratan para pengguna harus melapor. Semua punya kewajiban membantu melepaskan mereka dari ketergantungan.
Penjara pun bukan tempat yang aman dari jajahan narkoba. Banyaknya jalur penyelundupan narkoba untuk masuk ke Indonesia, dan kita tak bisa menganggap aman di sel penjara. Lemahnya pengawasan terhadap jaringan narkoba termasuk di sel-sel tahanan, membuat bisnis narkoba berkembang pesat.
Bandar atau pengedar memang belum tentu seorang pecandu tapi pecandu berpotensi besar sebagai pengedar karena dosis yang mereka konsumsi semakin hari bertambah dan harga barang bukan lagi gratis jadi mau tak mau untuk bisa bertahan hidup harus tersedia dana dengan menghalalkan beberapa cara menjadi bandar di kampuspun dilakoni. Hukuman mati memang pantas untuk para bandar dan pengedar sebab mereka memupus dan merusak generasi bangsa.
Masuk rehabilitasi memang cara yang lebih baik dari pada sel penjara. Meski membutuhkan waktu yang tak sedikit. Berikut ini ada beberapa tahap dalam rehabilitasi:
1. Pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba tersebut. Tahap ini disebut rehabilitasi medis (detoksifikasi),
2. Tahap rehabilitasi nonmedis, tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain.
3. Tahap bina lanjut (after care), tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah pengawasan.
Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus terhadap proses pulihan seorang pecandu.
Metode terapi juga digunakan seperti Cold turkey dimana seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat adiktif. Metode ini merupakan metode tertua, dengan mengurung pecandu dalam masa putus obat tanpa memberikan obat-obatan. Setelah gejala putus obat hilang, pecandu dikeluarkan dan diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis). Metode ini banyak digunakan oleh beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan dalam fase detoksifikasinya. Sedangkan terapi substitusi opioda hanya digunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin (opioda). Dalam pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda yang telah bertahun-tahun menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin (narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang sering digunakan adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-obatan ini digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.
Therapeutic community (TC). Metode ini mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help Program. program ini mempunyai sembilan elemen yaitu partisipasi aktif, feedback dari keanggotaan, role modelling, format kolektif untuk perubahan pribadi, sharing norma dan nilai-nilai, struktur & sistem, komunikasi terbuka, hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik. Aktivitas dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku, emosi/psikologis, intelektual & spiritual, vocasional dan pendidikan, keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba.
Jangan salah, rehabilitasi juga bisa gagal. Banyak pemakai narkoba yang sudah keluar masuk tetapi belum juga berhasil lepas dari ketergantungan meski sudah menjalani beberapa terapi dibanyak tempat namun hasilnya tidak signifikan.
Banyak sebab kenapa rehabilitasi gagal misalnya faktor psikologi belum normal, Detoksifikasi yang tidak tuntas, Belum selesainya pemulihan fungsi organ tubuh, Ketidaksiapan keluarga dalam masa peralihan, Tidak tersedianya kegiatan yang membuat mereka fokus, Belum adanya border untuk imunitas dari kontaminasi lingkungan yang tidak sehat.
Faktor psikologi memang yang terpenting. Seorang pemakai atau pecandu cenderung mengandalkan insting dan tidak lagi menggunakan logika. Realitasnya pecandu narkortika pada umumnya perpendidikan tinggi seperti yang dirilis oleh BNN Pada tahun 2011 prevalensi penyalahguna narkoba 2,2 % (3,8 - 4 Juta orang), berumur 10 - 59 tahun, 70% berada di kalangan pekerja, sedang 22% berada dikalangan siswa, pelajar. Sehingga tentunya mereka paham benar efek buruk dari penyalahgunaan obat-obat haram tersebut.
Rehabilitasi memang lebih baik daripada jeruji penjara namun antinarkoba jauh lebih baik. Hindarilah barang haram tersebut. Jika kita sudah mengenal dan berani mencoba akan sangat sulit kita terbebas dari barang penghancur hidup itu.
Percayalah hidup lebih indah dan berharga tanpa harus menggunakan narkoba, katakanlah “SAY NO TO DRUGS!”… Waspada dan berhati-hatilah terhadap haram itu berkeliaran di sekeliling kita melangkah.
SEMOGA BERMANFAAT!!