Suboxone seharusnya dipakai sebagai terapi detoks dan rumatan ketergantungan opioid dan heroin dengan aturan pemakaian dan peredaran ketat. Belakangan, zat ini diperjualbelikan di pasar gelap dan dikonsumsi oleh pecandu-pecandu baru.
"Ini peringatan dari Allah," ujar Bento, bukan nama sebenarnya, sembari meraba guratan luka bekas luka operasi sepanjang kurang lebih 20 sentimeter di dadanya dengan jari telunjuk.
Sejak awal tahun ini, Bento mengaku kerap merasa sesak dan sakit di bagian dadanya. Di bulan Maret, tepat di awal pandemi Covid-19 di Indonesia, sesak itu membuatnya hilang kesadaran, hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Saat itu, kata dia, keluarga menduga Bento terjangkit virus corona. Dia dirawat di RS AMC Bandung, sambil menunggu hasil swab PCR keluar.
Tapi hasil tes usapnya negatif. Pihak rumah sakit yang tak bisa menemukan penyebab sesak yang dialami Bento kemudian merujuknya ke RSUD BandungSetelah sebulan dirawat di sana, baru diketahui bahwa gangguan pada jantung lah yang menyebabkan sesak yang dialami Bento. Lagi-lagi, ia harus dipindahkan ke rumah sakit lain untuk menjalani perawatan intensif.
Pemeriksaan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) kemudian menunjukkan ada endapan di katup jantung Bento, yang memicu infeksi dan membuat pria 30 tahunan ini sesak nafas.
"Diberi tahu oleh dokter di RSHS, ini dampak dari Suboxone [yang disuntikkan]," ungkap Bento kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, November lalu.
Bento tercatat sebagai pasien rumatan buprenorfin — salah satu senyawa yang terkandung dalam obat dengan nama dagang Suboxone — di RS Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta untuk adiksi heroin.
Dari pasien legal ke pasar gelap
Sebagai pasien terapi rumatan, Bento mengaku mendapatkan narkotika tersebut secara legal di RSKO.
Setiap pekan, warga Bandung ini datang ke Jakarta untuk konseling dan menebus tujuh tablet Suboxone untuk dikonsumsi selama tujuh hari.
Jarak Bandung-Jakarta yang cukup jauh menyebabkan ia harus menyimpan stok hingga tiba waktu konseling berikutnya.
Sebelum menjalani terapi rumatan, Bento adalah pecandu putau, istilah jalanan untuk heroin. Ia mulai mengkonsumsi buprenorfin sebagai substitusi putau pada 2009.
Saat itu nama patennya adalah Subutex. Namun, merasa Subutex tidak mampu menutup adiksinya, Bento lalu menggantinya dengan Metadon, yang juga ditetapkan oleh WHO sebagai terapi substitusi opioid.
Terapi rumatan Metadon itu hanya dijalaninya selama setahun, sampai ia dinyatakan lepas dari ketergantungan narkoba.
Tapi karena pengaruh pergaulan, ia jatuh kembali dalam adiksi — dan memilih Suboxone sebagai terapi rumatan pada 2016.
Awalnya, Bento mengatakan menjalani terapi Suboxone sesuai aturan, yaitu dioral di hadapan dokter.
"Mencoba untuk benar," kata dia.
"Tapi perasaan beda. Ritual [menyuntik] dan sugestinya tidak bisa tertutup."
Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) Nomor 47 Tahun 2016 menyebutkan penyelenggara terapi rumatan buprenorfin bisa rumah sakit, puskesmas, dan klinik. Tapi pada pelaksanaannya, hanya segelintir yang bisa menyalurkan Suboxone, salah satunya RSKO Jakarta.
Kebijakan ini berbeda dengan Metadon yang bisa diakses di berbagai layanan kesehatan, termasuk puskesmas di berbagai daerah.
Aturan itu tentu saja menyulitkan Bento yang tinggal di luar Jakarta. Dia harus mengeluarkan biaya sekitar Rp1 juta setiap konseling dan menebus obat.
"Keluarga sudah mikir juga, biayanya besar," keluh Bento.
Dengan keadaan yang sedang menganggur, Bento mengatakan kondisi itu mendorongnya terlibat dalam peredaran gelap Suboxone.
Mula-mula ia mengaku menerima titipan pasien lain yang tak punya cukup uang untuk bolak-balik ke Jakarta buat konseling dan menebus obat.
Dia, katanya, menjual sebagian jatah Suboxone yang mestinya dipakai selama seminggu kepada sesama pasien.
"Jadi kebutuhan saya tidak full tujuh butir. Tidak habis semua dikonsumsi sendiri. Ada kelebihan tiga atau empat butir, itu yang dijual," ungkapnya.
Lama-kelamaan, lanjutnya, ia juga menjual ke konsumen nonpasien.
"Awalnya menjual, bukan berniat memperkaya diri, cuma membantu teman. Lama-lama, informasi menyebar. Kebutuhan Suboxone semakin meningkat. Edan, begini [banyak] yang butuh Suboxone," kata Bento.
Untuk menebus tujuh butir Suboxone, Bento harus membayar sekitar Rp630 ribu atau Rp90 ribu per butir.
Di pasar gelap, satu butir Suboxone seberat 8 mg dapat dipecah menjadi 0,5 mg atau 1 mg, dosis untuk sekali suntik.
Suboxone 1 mg rata-rata dijual dengan harga Rp160 ribu, sedangkan 0,5 mg dijual Rp80 ribu. Jika dihitung, penjual atau bandar bisa mendapat keuntungan lebih dari 14 kali lipat setiap satu butirnya.
"Tapi saya tidak jual yang potongan kecil," kilah Bento.
Peredaran gelap Suboxone oleh pasien terapi rumatan sebetulnya sudah diendus Badan Narkotika Nasional (BNN), termasuk BNN Kota Bandung.
"Dia memberikan kepada orang yang tidak sedang ketergantungan opioid. Penggunaanya juga langsung disuntikkan. Nah, ini sangat berbahaya," kata Kepala BNN Kota Bandung, AKBP Deni Yus Danial.
Meski, imbuh Deni, ada pula pengedar yang bukan pasien, seperti kasus yang yang diungkap BNN Kota Bandung beberapa waktu lalu.
Dalam kasus itu, BNN Kota Bandung menindak empat orang pengedar Suboxone yang telah divonis masing-masing tiga tahun penjara sesuai pasal 124 ayat 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.
Ancaman jarum suntik dan kenaikan kasus HIV
Menurut BNN Kota Bandung, sekitar 20% atau setara dengan 13.608 orang adalah pengguna narkotika suntik yang didominasi dengan penyalahgunaan Suboxone, sedangkan 80% lainnya, atau setara dengan 54.433 orang, mengkonsumsi narkoba nonsuntik.
Deni juga menyebutkan, sebagian dari penyalahguna Suboxone yang ditangkap lembaganya masih berusia remaja, meski saat ditanya jumlahnya, ia tak menyebut angka pasti.
Untuk mereka, BNN mengaku merujuk ke lembaga rehabilitasi yang dapat dijangkau oleh petugas, keluarga, atau oleh program Kelurahan Bersinar di wilayahnya.
Pernyataan Deni ini dikuatkan oleh data yang dihimpun Yayasan Grapiks, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang aktif melakukan pencegahan dan penanggulangan bahaya narkoba di Kota Bandung.
Selama 2021, terdapat 1.093 orang pengguna narkoba suntik (penasun) Suboxone dampingan Grapiks. Dari jumlah itu, 84 orang masih anak-anak.
"Paling muda anak usia 15 tahun. Sementara pengguna narkoba suntik perempuan sekitar 5-6 persen," ungkap Sekretaris Yayasan Grapiks, Giri Sugara.
Giri mengungkapkan, dari sekian banyak penasun Suboxone, hanya sekitar 10 persen yang mendapatkan zat tersebut secara legal melalui layanan kesehatan. Artinya, sebagian besar mendapatkannya dari pasar gelap.
"Ada yang terdaftar di RSKO, yang sedang terapi. Itu kan dalam tanda petik hanya formalitas saja untuk mendapatkan barang," katanya.
Grapiks, kata Giri, berupaya mengubah perilaku konsumsi Suboxone dari disuntik menjadi oral, mengingat jumlah kasus penularan HIV dan Hepatitis C turut meningkat seiring dengan kenaikan angka panasun Suboxone.
Obat berbentuk tablet ini seharusnya dikonsumsi secara oral dengan cara diletakkan di bawah lidah (sublingual). Tapi Bento menggerusnya, lalu menyuntikkannya ke pembuluh darah. Inilah yang kemudian menyebabkan penyumbatan di jantung.
Ini bukan kasus penyumbatan jantung pertama akibat salah konsumsi Suboxone yang ditangani RSHS, menurut Bento.
"Saya kasus yang keenam, lima [kasus sebelumnya pasien] tidak selamat. Itu saya tahu semua orangnya. Teman saya semua. Mereka meninggal karena [menyuntikkan Suboxone], sama seperti saya," ujar Bento.
Bapak empat anak ini mengaku, sebelum sakit ia jor-joran menyuntikkan Suboxone, sampai akhirnya nyawanya nyaris melayang.
"Cuma itu bukan hal yang gampang, soalnya ini sudah jadi tradisi. Maka yang bisa dilakukan adalah bagaimana mereka mendapatkannya secara legal kemudian mengkonsumsinya pun secara legal," ujar Giri.
Hingga November 2021, jumlah penasun dampingan Grapiks yang reaktif HIV sebanyak 92 orang dan Hepatitis C sebanyak 900 orang.
"Positivity rate HIV dampingan Grapiks sudah 14 persen. Padahal dulu sudah rendah, di bawah 3 persen," sebut Giri.
Penyebabnya, jarum suntik yang tidak steril dipakai bersama-sama, ketersediaan jarum suntik steril yang terbatas, dan pemahaman tentang HIV/AIDS di kalangan pengguna narkotika suntik yang masih sangat rendah.
Apa itu Suboxone dan bagaimana izinnya di Indonesia
Pada Desember 2002, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) mengeluarkan izin peredaran dan penggunaan buprenorfin, senyawa narkotik semisintetis, di Indonesia.
Buprenorfin yang saat itu memakai merek dagang Subutex ditujukan sebagai terapi detoksifikasi dan rumatan ketergantungan opioid atau heroin.
Keputusan Badan POM tentang Pengaturan Khusus Penyaluran Dan Penyerahan Buprenorfin itu mencantumkan sistem penyaluran buprenorfin dan mekanisme pelaporan yang ketat, menimbang potensi penyalahgunaan zat tersebut. Termasuk, jenis sanksi administratif bila terjadi pelanggaran.
Kala itu, buprenorfin masuk dalam jenis Psikotropika golongan III, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
Kemudian, terbit Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan buprenorfin sebagai Narkotika golongan III. Kebijakan ini berdampak pada sistem penyaluran dan penyerahan buprenorfin yang lebih terpusat dan ketat dengan maksud menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap.
Pada 2016, Kementerian Kesehatan menerbitkan Permenkes Nomor 47 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Terapi Buprenorfin. Aturan hukum ini merespon penyalahgunaan senyawa tersebut yang semakin marak.
Saat peraturan ini keluar, buprenorfin dipasarkan dengan merek dagang Suboxone — yang diproduksi oleh perusahaan Reckitt Benckiser — atau biasa disebut 'bukson'.
Berbeda dengan Subutex yang kandungannya murni buprenorfin, bukson merupakan campuran buprenorfin dengan nalokson, yaitu senyawa yang memiliki efek reversal (antagonis) terhadap efek narkotik yang umumnya digunakan untuk mengatasi overdosis opioid.
Kendati pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan, tapi dalam perjalanannya, penyalahgunaan dan peredaran Suboxone di pasar gelap terjadi semakin marak.
Selain beredar secara ilegal, cara konsumsi Suboxone juga banyak disalahgunakan. Obat yang seharusnya dikonsumsi secara oral/sublingual (disimpan di bawah lidah) dan di bawah supervisi tenaga kesehatan, malah disuntikkan.
Cara ini memicu peningkatan angka kasus HIV/AIDS dan Hepatitis C lantaran penggunaan jarum suntik tidak steril bersama-sama. Menyuntikkan Suboxon juga berisiko mengancam jiwa.
Celah peredaran gelap Suboxone
Akar peredaran gelap Suboxone sebetulnya tidak segelap narkoba lain. Jalur distribusi ilegal Suboxone kebanyakan berujung pada pasien terapi rumatan yang mendapatkannya secara resmi.
"Dulu buprenorfin masuk golongan psikotropika, tapi kemudian dimasukkan ke dalam narkotika golongan tiga supaya dalam pengaturannya diperketat secara khusus."
"Namun, di lapangan memang terjadi penyimpangan peredaran gelap. Hal tersebut kalau tidak diantisipasi justru sangat mengkhawatirkan," papar Deni.
Antisipasi yang dimaksud Deni adalah mengevaluasi kebijakan distribusi, dalam hal pengawasan dan pemberian dosis.
Permenkes Nomor 47 Tahun 2016, imbuh Deni, sedianya sudah mengatur hal tersebut agar tidak terjadi penyimpangan. Tapi kenyataan di lapangan yang terjadi sebaliknya.
Deni mengingatkan, saat buprenorfin ditetapkan sebagai psikotropika, penyalurannya bisa dilakukan oleh berbagai layanan kesehatan, seperti klinik dokter swasta, yang malah berpotensi "sangat berbahaya."
Ini pernah terjadi pada 2016. Seorang dokter yang bertugas di Lapas Porong ditangkap oleh BNN Kota Surabaya lantaran menjual Suboxone secara ilegal selama bertahun-tahun
Namun, seorang pegiat anti-narkoba berpendapat, celah penyalahgunaan Suboxone yang saat ini terjadi bermuara pada kurang tepatnya kebijakan pemerintah dalam mendistribusikan buprenorfin.
Obat ini sejak awal diedarkan dengan pendekatan komersial atau profit, kata Patri Handoyo, pengurus Rumah Cemara, organisasi yang menjalankan program pelayanan bagi orang yang bermasalah dengan konsumsi obat-obatan.
Saat izin dari Badan POM keluar, ujar Patri, peredaran Suboxone diarahkan ke jalur-jalur praktek dokter swasta tanpa adanya HET (harga eceran tertinggi) dan pedoman distribusi obat yang baik.
"Memang, di peraturan Badan POM 2002 itu ada aturannya. Misalnya dokter yang meresepkan buprenorfin harus memastikan pasiennya meminum obat di depan dia. Tapi kemudian dokter tidak peduli yang penting obat laku," ungkap Patri.
Setelah buprenorfin digolongkan sebagai Narkotika golongan III, kata dia, masalah tak kemudian selesai.
Sesuai undang-undang, impor narkotika hanya bisa dilakukan oleh perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah mendapat izin menteri kesehatan. Ini berarti, importir buprenorfin harus dialihkan dari perusahaan swasta ke BUMN, dalam hal ini Kimia Farma.
Langkah selanjutnya, pemerintah membatasi distribusi Suboxone dengan menunjuk sejumlah layanan kesehatan rehabilitasi narkoba yang bisa menyalurkan narkotika tersebut.
Kebijakan itu, menurut Patri, membuat peredaran gelap bukson semakin menjadi-jadi. Ia menyebut, pemerintah seperti sengaja "mencari laba" dan bukan "mengatasi masalah narkoba dan kecanduan heroin".
Padahal, ia melanjutkan, Suboxone versi generik telah diproduksi oleh sejumlah perusahaan farmasi di sejumlah negara, antara lain Australia, Amerika Serikat, dan India, sejak 2013.
"Dengan impor generik, harga obat jadi bisa ditekan," sebut penulis buku berjudul Menggugat Perang terhadap Narkoba dan War on Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Pemberantasan Narkoba di Indonesia.
Menurut Patri, BNN maupun KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) juga bisa mendorong pemerintah pusat agar Indonesia memproduksi sendiri tablet buprenorfin dan nalokson generik.
Patri juga menyebut, pengawasan yang diperketat tanpa menghapus motif profitnya tetap akan menyuburkan peredaran buprenorfin oleh mereka yang hanya ingin "mengeruk laba".
"Kajian Kementerian Kesehatan RI dan WHO pada 2011 menunjukkan, karena harganya yang mahal, dosis yang diterima menjadi kurang adekuat untuk mencapai dosis terapi. Hal tersebut membuat pasien lebih memilih menyuntikkan buprenorfin dengan alasan penghematan," tulis Patri di situs Rumah Cemara.
Sebagai gambaran, satu butir Suboxone 8mg, jika dikonsumsi oral hanya bisa untuk satu kali minum, tapi bila disuntikkan, bisa untuk delapan hingga 16 kali suntik.
Pada 2010, survei perilaku terhadap 3.321 orang yang mengakses layanan pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba di wilayah Jawa dan Bali dalam lima tahun terakhir menunjukkan, zat yang paling banyak disuntikkan adalah buprenorfin.
Pendekatan kesehatan masyarakat
Secara umum, paradigma penggunaan Suboxone di Indonesia harus berubah.
"Harus diubah menjadi paradigma kesehatan masyarakat, sehingga obat bisa disediakan di fasilitas-fasilitas kesehatan negara. Harganya pun bisa lebih terkontrol,"
Patri membandingkannya dengan program terapi rumatan Metadon yang pendekatannya memakai paradigma kesehatan masyarakat.
Suboxone dan Metadon sama-sama ditetapkan WHO sebagai perawatan yang sesuai bagi konsumen narkoba suntik untuk terapi substitusi opioid pada 2004.
Metadon masuk dalam kategori Narkotika golongan II yang menimbulkan potensi ketergantungan tinggi, sedangkan Suboxone masuk dikategorikan sebagai Narkotika golongan III, yang berarti mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Jika Suboxone hanya bisa diakses secara terbatas dan dengan harga cukup tinggi, Metadon bisa didapatkan di puskesmas hingga rumah sakit terdekat dengan pasien secara gratis, atau membayar retribusi saja.
Sejauh ini, kata Patri, tidak ada penjelasan kenapa bukson hanya bisa diperoleh di — salah satunya — RSKO Jakarta yang tentu saja sulit diakses oleh pasien yang berada di luar Jakarta.
"Si pasien akhirnya bisa menjual [Suboxone di pasar gelap]. Siapa sih, yang bisa nebus obat dalam seminggu Rp600 ribuan? Kan jarang," tukas Patri.
"[Metadon] gratis karena masuk ke dalam program penanggulangan HIV/AIDS," terang Patri yang sebelumnya terlibat dalam kajian berjudul Liberalisasi Niaga Obat, Pengelolaan Layanan Kesehatan, dan Terapi Substitusi Narkoba.
Di Kota Bandung, penyalahgunaan Suboxone dengan cara disuntikkan menyumbang sebanyak 7% dari jumlah kasus ODHA (orang dengan HIV/AIDS), merujuk pada data KPA Kota Bandung 2021.
Ini pula yang membuat Yayasan Grapiks mengusulkan ke pemerintah untuk menjalankan program pendekatan kesehatan secara komprehensif dan termonitor bagi pemakaian dan peredaran Suboxone.
"Jadi kalau misalkan pendekatannya bukan pendekatan kesehatan, kemudian pelaksanaannya juga tidak ketat, pengawasannya lemah, tidak akan selesai-selesai masalah Suboxone ini," kata Giri Sugara dari Yayasan Grapiks.
Di sisi lain, dr. Elvine Gunawan, SpKJ menyebutkan, terapi rumatan Suboxone sebetulnya ditujukan mempermudah proses berhenti atau memutus adiksi narkotika.
Dosis akan diturunkan, tapi tidak menimbulkan penderitaan bagi pasien, sehingga mereka bisa berfungsi dengan baik. Menurut Elvine, terapi rumatan akan efektif bila proses distribusi obatnya terkawal dengan baik.
"Proses take home dosis itu sebenarnya tidak sesuai [dengan regulasi], sehingga ketika sampai di pasien menjadi peluang," kata Elvine yang terlibat sebagai asesmen medis dalam Program Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM).
Ada beberapa tahap, kata Elvine, untuk menjalankan regulasi terapi rumatan Suboxone ini dengan baik. Pertama, diagnosisnya. Kedua, apakah dosis yang diberikan kepada pasien masih sesuai atau tidak.
"Yang ketiga adalah proses pengawasan dari obat diberikan kepada pasien sampai pulang. Misalnya, kita melibatkan pendamping atau dukungan sosial. Terakhir, proses psikoterapinya, sehingga pasien menemukan makna untuk berobat ini sebenarnya tujuannya apa sih," ujar Elvine.
Untuk memunculkan motivasi yang kuat dari pasien, imbuh Elvine, harus memperhatikan kondisi psikologis pasien.
Elvine menjelaskan, gangguan mental perilaku akibat penyalahgunaan zat ini ada faktor komorbidnya, yaitu gangguan mental emosional yang harus dilihat apakah sudah tertangani dengan baik atau tidak.
Selanjutnya, proses psikoedukasi yang berarti apakah pasien mengerti edukasi yang diberikan dari dokternya.
"Faktor dukungan sosial, apakah keluarga hadir dalam proses rehabilitasi pasien, apakah pasangan hidup mendukung proses ini, sehingga akhirnya pasien ketika menjalankan proses rehabilitasi punya motivasi kuat untuk mempertahankan niat dia berhenti," terang Elvine.
Sumber : Wartawan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat, berkontribusi pada liputan ini